Selasa

UJUNG PANGKAL KECURANGAN DALAM UJIAN NASIONAL



BUTUH GURU LES PRIVAT UNTUK ANAK ANDA?

Seiring dengan semakin berkembangnya pendapat umum yang mengatakan bahwa Ujian Nasional sudah tidak layak lagi untuk dijadikan standar ukuran yang menentukan kelulusan siswa, pemerintah terus berupaya melakukan inovasi untuk memperbaiki sistem pelaksanaan UN. Salah satunya dengan menerapkan model soal ujian berbentuk variatif dimana nantinya tiap-tiap peserta dalam satu ruangan kelas akan menerima soal-soal ujian yang berbeda-beda. Misalnya, jika dalam satu kelas terdapat 20 peserta ujian, maka di dalam kelas tersebut akan diberi 20 lembar soal yang berbeda-beda satu sama lain dalam setiap lembarnya. Tujuannya adalah sebagai upaya untuk menutup kemungkinan akan ada peserta ujian yang saling bekerjasama dalam mengerjakan soal-soal di dalam ruangan tersebut.

Hal ini ditegaskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh yang pada satu kesempatan mengatakan bahwa tim-nya telah menyiapkan rancangan soal yang bervariasi. Jumlahnya mencapai 20 variasi.
Pemerintah memang bercermin dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, meski segala langkah antisipasi telah dilakukan, namun kabar tingkat kebocoran soal selalu saja kerap terjadi. Sehingga segala upaya antisipasi yang diambil pemerintah seakan hanya berfungsi meminimalisir terjadinya kecurangan di dalam pelaksanaan UN dan bukan benar-benar menghilangkannya sama sekali. 

Fenomena yang terjadi terkait kecurangan-kecurangan di dalam pelaksanaan UN dalam perkembangannya memang sudah bukan lagi hanya sebatas dilatarbelakangi oleh kepentingan sempit. Sebagai satu contoh saja misalnya, karena keinginan untuk mendapatkan hasil ujian terbaik, salah seorang oknum siswa kemudian menghalalkan berbagai cara lalu kemudian tertangkap. Namun lebih daripada itu, pada kenyataannya, fenomena ini justru sudah sedemikian berkembangnya dan juga dengan dilatarbelakangi oleh kepentingan banyak pihak yang lebih besar.

Seperti yang dikatakan oleh Retno Listyarti, Sekjen FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia), bahwa di satu pihak memang masih ada sekolah yang benar-benar menjalankan Ujian Nasional dengan jujur, namun di pihak lain kita tidak bisa menutup kenyataan bahwa ada juga sekolah-sekolah yang takut jika sampai ada siswanya sampai tidak lulus Ujian Nasional. Jika hal ini sampai terjadi, sudah barang tentu akan memberi pengaruh buruk terhadap citra sekolah tersebut sendiri, lalu kemudian akan semakin berkembang hingga bermuara pada munculnya opini umum yang mempertanyakan kualitas sekolah tempat siswa tersebut berasal. Sangat logis disini, untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut lalu pihak sekolah akan menempuh segala macam cara demi menjaga citranya.

Secara keseluruhan, substansi permasalahan harus dilihat dengan menggunakan sudut pandang yang lebih luas, dan sudah seharusnya pemerintah dapat lebih jeli lagi dalam memahami persoalan, karena dari sanalah sebenarnya ujung pangkalnya berdiri.