Dalam
upaya memenuhi kebutuhan pendidikan bagi klasifikasi anak-anak berkebutuhan khusus,
pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menempuh
beberapa pola yang dalam pengaplikasiannya disesuaikan dengan segmentasi
tingkat kebutuhannya.
Sampai
saat ini terdapat tiga pola atau sistem yang ketentuannya diberlakukan
berdasarkan tingkatan-tingkatan kebutuhan sebagaimana disebutkan tadi, yaitu:
1.
Sistem Pendidikan Segregasi
2.
Sistem Pendidikan Integrasi
3.
Sistem pendidikan Inklusi
Sistem Pendidikan Segregasi, adalah sistem pendidikan dimana dalam
penyelenggaraannya dilakukan pemisahan antara anak-anak berkebutuhan khusus (difabel)
dengan pendidikan untuk anak normal (non-difabel).
Tujuan dari penerapan pola seperti ini
adalah untuk menghilangkan perasaan berbeda atau merasa dibeda-bedakan pada
diri anak-anak berkebutuhan khusus dibanding perlakuan yang diterima oleh anak-anak
normal. Dengan terciptanya kondisi demikian (*pemisahan) bertujuan demi
menghilangkan rasa minder yang dikhawatirkan akan berdampak mengganggu/menghambat
proses pembelajaran pada diri anak-anak berkebutuhan khusus.
Namun demikian kebijakan pemisahan ini
juga tetap harus menyadari akan adanya effect negative yang secara
otomatis akan terbentuk dengan sendirinya, karena biar bagaimanapun, pemisahan
ini juga sama artinya dengan menciptakan garis batas di dalam pola berinteraksi,
antara anak-anak berkebutuhan khusus terhadap lingkungan masyarakat di
sekitarnya,
Selain konteks pembatasan pola
interaksi, pola segregasi juga membutuhkan biaya pendidikan yang sudah pasti
akan relative lebih mahal ketimbang biaya yang dibutuhkan pada sekolah normal
pada umumnya karena mengingat “kekhususannya” tadi. Dengan latar belakang
kemampuan finansial yang berbeda-beda dari tiap-tiap orang tua anak
berkebutuhan khusus, maka sistem pendidikan semacam ini akan dapat diasumsikan
sebagai program atau kebijakan pemerintah yang tidak memberikan kesempatan sama
pada setiap anak-anak berkebutuhan khusus. Oleh sebab itu, disini dibutuhkan
perhatian khusus dari pemerintah sehingga bentuk kepeduliannya terhadap
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus juga dapat dinikmati secara merata
oleh semua anak yang tersegmentasi, terlepas dari apapun latar belakang
kemampuan finansial keluarga atau orang tua anak tersebut.
Sistem Pendidikan
Integrasi, adalah suatu
pola pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang di dalam pengaplikasiannya
dilakukan dengan cara menggabungkan anak berkebutuhan khusus ke dalam sekolah
umum (sekolah untuk anak normal). Adapun tujuan dengan diterapkannya
penggabungan ini adalah sebagai upaya untuk memberikan kesempatan kepada
anak-anak berkebutuhan khusus agar dapat ikut merasakan dan menjadi bagian di
dalam lingkungan proses pendidikan normal tanpa harus merasa dibeda-bedakan hanya
karena alasan kekurangan yang dimilikinya. Dengan terciptanya kondisi tersebut
juga diharapkan akan dapat menambah rasa percaya diri dan menanamkan harga diri
pada anak berkebutuhan khusus yang pada akhirnya nanti juga akan memberikan
dampak positif secara psikologis, antara lain misalnya; memacu motivasi untuk
berprestasi dan menumbuhkembangkan semangat dalam mengembangkan bakat dan potensi
dirinya secara lebih maksimal lagi demi keinginan agar keberadaannya semakin diterima
atau diakui di dalam lingkungan sosial.
Pendidikan Inklusi, merupakan pola pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
yang merupakan hasil koordinasi dengan sekolah reguler, dimana di dalam
penerapannya proses pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus
diintegrasikan ke dalam pola pendidikan anak normal (reguler). Dengan demikian
pola pengajarannya akan tercakup di dalam program atau kurikulum yang sama
seperti yang diberlakukan di dalam sekolah reguler.
Langkah pendekatan ini dilakukan dengan menghapus “eklusifitas” yang
dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus sebagaimana yang ia terima jika
bersekolah di SLB. Dengan demikian pola pendidikan Inklusi ini akan menempatkan
posisi anak berkebutuhan khusus dalam posisi yang sama/sederajat sebagaimana
anak-anak normal, lalu secara bersama-sama pula akan dididik sesuai dengan kurikulum
yang berlaku. Sebagai realisasi dari pencanangan pendidikan inklusi ini, pada
tanggal 11 Agustus 2004, pemerintah mendeklarasikan dimulainya penyelenggaraan
pola pendidikan Inklusi di Bandung.
Sebagaimana rumusan konsep yang telah
ditetapkan, maka untuk kurikulumnya, pendidikan inklusi akan menggunakan
kurikulum sebagaimana kurikulum sekolah reguler, namun begitu, tetap dilakukan
upaya-upaya modifikasi tertentu yang disesuaikan dengan tahap perkembangan anak
berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik dan tingkat
kecerdasannya.
Adapun bentuk modifikasi kurikulum demi
penyesuaian terhadap anak berkebutuhan khusus antara lain meliputi: Alokasi
waktu, materi kurikulum, proses belajar-mengajar, sarana-prasarana, lingkungan
belajar dan pengelolaan kelas.