Minggu

PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

Guru les privat anak berkebutuhan khusus (ABK), tuna netra, rungu, grahita, autis, indigo, klasifikasi ABK, definisi, jaminan pendidikan ABK pasal 31 ayat 1


BUTUH GURU LES PRIVAT UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)? SILAHKAN KLIK GURU PRIVAT ABK

 
Di dalam pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan tentang kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi setiap warga negaranya tanpa terkecuali, termasuk kepada mereka yang memiliki perbedaan dalam hal kemampuan dan keterbelakangan mental.

Untuk mengimplementasikan apa yang telah ditetapkan di dalam UUD 1945 tersebut pemerintah membangun dan memberikan berbagai fasilitas guna mendukung pelaksanaannya yang terklasifikasi ke dalam berbagai kategori disesuaikan dengan segmentasi peruntukannya. Salah satunya adalah fasilitas pendidikan untuk mereka yang termasuk ke dalam kategori “membutuhkan perhatian khusus”.

Jika menilik sejarahnya, klasifikasi anak berkebutuhan khusus awalnya diartikan hanya bagi anak-anak penyandang cacat (Tuna) saja, misalnya penyandang buta, tuli, bisu dan sejenisnya, namun dalam perkembangannya konsep tersebut tidak lagi hanya ditujukan bagi anak-anak penyandang cacat saja melainkan juga diperuntukkan bagi anak-anak yang meskipun memiliki kelainan namun tetap menyimpan potensi dan bakat khusus, yang apabila mendapatkan perhatian khusus pula maka bukan hal mustahil akan melahirkan prestasi dalam konteks tersendiri.

Menurut Prof. Dr. Sunartini, SpA (K), PhD, salah seorang guru besar dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, istilah anak berkebutuhan khusus adalah klasifikasi untuk anak dan remaja secara fisik, psikologis dan atau sosial mengalami masalah serius dan menetap. Dengan demikian anak berkebutuhan khusus berarti membutuhkan kekhususan baik itu dari segi layanan kesehatan, kebutuhan pendidikan, dan kebutuhan akan kesejahteraan sosial dan bantuan sosial.

Masih menurut Prof. Dr. Sunartini, istilah anak dengan kemampuan dan kebutuhan khusus dinilainya manusiawi ketimbang sebutan anak cacat yang secara global, dimana diperkirakan berjumlah 370 juta orang atau sekitar 7% dari jumlah total populasi dunia. Dari jumlah tersebut terdapat kurang lebih sekitar 80 juta orang di antaranya membutuhkan rehabilitasi.

Dengan adanya pemahaman tersebut di atas maka perumusan kategori anak berkebutuhan khusus pun diperluas cakupannya tidak lagi hanya sebatas anak-anak penyandang cacat fisik saja melainkan juga termasuk anak-anak yang masuk ke dalam kategori: dungu, gangguan emosional, ketidakmampuan mental, ketidakmampuan belajar, lambat menangkap pelajaran, autistuk, agresif, down syndrome dan hiperaktif. Untuk 2 kategori terakhir adalah contoh anak berkebutuhan khusus yang apabila disikapi dengan baik dan tepat maka bukan tidak mungkin segala potensi, bakat dan keunggulan yang terdapat pada diri anak tersebut akan melahirkan prestasi walau mungkin bukan prestasi dalam bidang akademik. Sebagai contoh saja misalnya, untuk anak penderita Down Syndrome yang masuk ke dalam klasifikasi Tuna Grahita, di balik kekurangannya tersebut ternyata mereka memiliki keunggulan talenta yang luar biasa, bahkan bisa dikatakan Multiple Intelligences, misalnya dalam hal: kemampuan berbahasa, Logico mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural dan bahkan secara Spiritual.

Dan masih sejalan dengan upaya penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tersebut, dengan apapun perumusan konsep kebijakannya, ada satu hal yang juga harus digarisbawahi dan dijadikan titik perhatian oleh pemerintah yaitu sedapat mungkin pemerintah harus mampu meminimalisir atau bahkan kalau bisa agar menghilangkan tembok eksklusifisme yang pada akhirnya nanti justru akan menciptakan “jarak” yang membedakan dan bahkan meng-alien-asi anak-anak berkebutuhan khusus dari lingkungan masyarakat pada umumnya.

Untuk konteks di sini, pemerintah dituntut untuk harus menjembatani proses interaksi antara kelompok anak berkebutuhan khusus (difabel) dengan lingkungan sekitarnya yang tidak berkebutuhan khusus (non-difabel). Baik dalam bentuk penyertaan program tambahan atau dengan upaya lainnya, karena biar bagaimanapun tetap akan ada kekhawatiran terutama bagi kalangan orang tua anak tersebut akan masa depan anak-anak mereka ketika pada gilirannya nanti, mau tidak mau, anak-anak berkebutuhan khusus tersebut tetap harus membaur di dalam kehidupan bermasyarakat, dengan kemandiriannya terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya.

Untuk klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus yang dikelompokkan sesuai dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa dan Pembinaan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan adalah:

  • Tuna Netra
  • Tuna Rungu
  • Tuna Grahita Berat, diklasifikasikan pada golongan anak yang ber-IQ 125.
  • Tuna Grahita Ringan, diklasifikasikan pada golongan anak yang ber-IQ = 50-70
  • Tuna Grahita Sedang, diklasifikasikan pada golongan anak yang ber-IQ = 25-50
  • Kesulitan Belajar, antara lain terjadi pada anak-anak yang memeiliki kecenderungan Hyper aktif
  • Lambat Belajar, diklasifikasikan pada golongan anak yang ber-IQ = 70–90
  • Autis
  • Korban Penyalahgunaan Narkoba
  • Indigo